Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.
Dulu sekali, ketika saya masih duduk dibangku SMA yang kebetulan mendapat pelajaran sosiologi, saya sering sekali mendapatkan definisi – definisi tentang konsep social yang ada di buku sekolah atas nama Selo Soemarjan. Waktu itu saya tidak pernah ambil pusing tentang siapa yang memberikan definisi tersebut, saya hanya focus menghafal dan mencoba memahami definisinya agar ketika ujian saya dapat menjawab so’al.Namun seiring berjalannya waktu rasa ingin tahu tentang siapa sosok “Selo Soemarjan” pun muncul kembali, karena ternyata beliaulah bapak sosiologi Indonesia, ilmuwan yang memiliki pengalaman menjadi pejabat pemerintahan.
Sejarah hidup
Selo Soemardjan atau yang memiliki nama lengkap Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan Lahir di Yogyakarta pada tanggal 23 Mei 1915 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 11 Juni 2003. Pendidikan dasarnya dilalui di HIS, Yogyakarta (1921-1928), kemudian lanjut ke MULO, Yogyakarta (1928-1931), MOSVIA, Magelang (1931-1934) dan Universitas Cornell, Ithaca, New York, AS (Sarjana, 1959 Doktor, 1959). Mungkin kita sedikit bertanya – tanya darimana beliau mendapatkan gelar “Kanjeng Pangeran Haryo”. Apakah beliau ada darah keratonnya atau bagaimana?.
Ternyata memang benar, beliau dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan – begitu nama aslinya, mendapat pendidikan Belanda. Nama “Selo” dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Pemberian nama “Selo” Ini merupakan cara khusus Sultan Yogyakarta untuk membedakan nama pejabat sesuai dengan daerahnya masing – masing. Saat menjabat camat inilah beliau merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. “Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali,” tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas.
Dalam hidupnya, Selo Soemardjan pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/ Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto. Pengalamannya sebagai camat membuat Selo Soemardjan menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain.
Karir sebagai ilmuwan
Sebagai ilmuwan, karya Selo Soemardjan yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir beliau menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 yang diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang. Selo juga merupakan penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah.
Selo Soemardjan dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah pada tahun 1959 meraih gelar doktornya di Cornell University, AS – mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus Dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI selama 10 tahun. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi. Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan sampai akhir hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI.
Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, “Pak Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama.” Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. “Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah,” tulis Lopa.
Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka “mengerutkan kening”. Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah – istilah ilmu yang diajarkannya. “Kalau menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat,” kenang Baharuddin Lopa. Dalam tulisannya, Lopa juga menggambarkan Selo sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata – katanya mengandung kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya. Hal inipun di amini oleh putera sulungnya Selo Soemardjan, Hastjarjo. Bapak suka main. “Setiap hari selalu memainkan tubuhnya untuk berolahraga senam”. Karena terkesan lucu ketika menggerakan tubuhnya, cucu – cucu menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya,” tambahnya.
Selo orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.
Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pantas karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang bersih yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat. [ef]
Refrensi