“Kita harus menetapkan langkah untuk mengembalikan tradisi Bali dan agama kita. Turis asing seharusnya tidak hanya datang ke Bali untuk menonton turnamen tenis dan golf. Tidak juga untuk hanya mendengarkan musik Jazz/Rock atau menonton balapan mobil. Hal-hal tersebut bisa mereka nikmati di tempat lain. Bali seharusnya menawarkan apa yang menjadi tradisi Bali. Jangan korbankan kebudayaan Bali demi kepentingan jangka pendek pariwisata untuk menarik wisatawan sebanyak-banyaknya”
-Anak Agung Gde Agung –
Sumber Foto: dari sini
Ketika minggu kedua di Leiden, saya berkesempatan menyaksikan seorang kawan mempertahankan tesis S-2nya di ‘Academiegebouw’ (Gedung Akademik) Universitas Leiden. Ada satu tradisi unik yang ternyata sudah menjadi kebiasaan turun-temurun bagi para mahasiswa yang dinyatakan lulus dari universitas tertua di Belanda, yang dibangun pada tahun 1575 tersebut. Selepas ujian, mereka diberikan kesempatan untuk membubuhkan tanda tangannya di satu ruangan khusus bernama “Zweetkamertje”. Mata saya menerawang, dan seketika langsung tertuju pada beberapa bingkai kaca yang berisikan beberapa tanda tangan. Nama-nama figur terkemuka seperti Ratu Beatrix, Ratu Wihelmina, Nelson Mandela, Winston Churchill, hingga Albert Einstein terpampang di sana. Ternyata bingkai tersebut memang dikhususkan bagi para tokoh terkemuka yang pernah melakukan studi di Universitas Leiden. Namun yang mengejutkan saya, tepat di urutan kesembilan, ada tanda tangan seorang Indonesia di dalam bingkai khusus tersebut. Orang itu bernama Anak Agung Gde Agung.
Anak Agung Gde Agung merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari Dr. Ida Anak Agung Gde Agung, tokoh yang pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dan Luar Negeri pada masa pemerintahan presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Secara hirarki, dirinya merupakan pewaris langsung tahta Kerajaan Gianyar meskipun dirinya lebih senang disebut sebagai ‘kepala keluarga’ ketimbang raja.
Selain mendapat gelar Doktor dari Universitas Leiden, Anak Agung juga pernah mengenyam pendidikan di Universitas Harvard (USA) dan The Fletcher School of Law and Diplomacy (USA). Di samping itu, dirinya juga pernah menjadi Menteri Urusan Sosial semasa era Presiden Abdurrahman Wahid dan anggota MPR-RI periode 1999-2004.
Di Universitas Leiden, Anak Agung berhasil mendapatkan gelar doktoral di bidang konservasi biokultural dan pengembangan masyarakat dengan disertasi doktoralnya yang berjudul “Bali Paradise Lost: Tri Hita Karana and the Conservation of the Islands Biocultural Diversity” propranolol generic online. Di bawah bimbingan pakar Ethnosystems and Development terkemuka, Prof. Dr. L.J. Slikkerveer dan Prof. Richard Leakey, predikat excellent atau summa cumlaude berhasil digondol olehnya. Tidak hanya itu, disertasi tersebut bahkan dinobatkan sebagai pelopor dalam dunia akademik karena metode baru yang berhasil diterapkan di dalam risetnya.
Pergeseran Signifikan
Berbekal beragam data statistik, Anak Agung Gde Agung berhasil menguantitatifkan riset tentang Bali yang selama ini umumnya dikerjakan melalui pendekatan kualitatif. Kelemahan dan kekuatan budaya Bali dengan brilian berhasil diukurnya melalui pendekatan kuantitatif yang kemudian ditunjang dengan tabel dan statistik yang sangat kaya. Metode ini dianggap mampu menjadi terobosan sekaligus solusi terbaik dalam menganalisis status kebudayaan, pertanian, dan urbanisasi, di samping berguna juga untuk mengidentifikasi penyebab erosi serta menganalisis dampak beserta solusinya dengan tepat.
Bagi Anak Agung Gde Agung, globalisasi modal dan ekonomi menyebabkan perubahan multidimensional dalam kehidupan orang Bali. Terjadi pergeseran signifikan terhadap dasar-dasar tradisional dari aspek sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan hidup. Di samping itu, erosi alam juga mengganggu kosmologi kepercayaan Bali. Data statistik memperlihatkan, 38 pantai di Bali tererosi masing-masing 125 meter kubik per tahun karena bangunan-bangunan yang mengabaikan peraturan garis sepadan pantai. Erosi juga terjadi di semua sungai, terutama yang paling sakral, yaitu Sungai Ayung. Sungai itu pernah sukar mengalir akibat lumpur dari pembangunan di tepiannya dari hulu ke hilir. Padahal, agama Bali adalah agama tirta, yang sangat tergantung pada kejernihan air. Semua ini belum termasuk hilangnya 25.000 hektar hutan dalam satu dekade terakhir.
Tri Hita Karana
Di dalam disertasinya, Anak Agung kemudian memaparkan solusinya yang dikenal dengan nama “Tri Hita Karana”. Bila diterjemahkan secara harfiah, istilah tersebut berarti “Tiga sumber kebahagiaan”. Di mata Anak Agung, Tri Hita Karana merupakan wahana terbaik untuk melestarikan tradisi, adat istiadat, kebudayaan, serta alam Bali. Selain berporos kuat pada agama Hindu-Bali, Tri Hita Karana memiliki aspek multidimensional dan berakar pada agama serta simbol-simbol kosmologi. Di samping itu, Tri Hita Karana memberi panduan bagaimana manusia harus bersikap terhadap tiga hal, yakni hubungan manusia dengan manusia (pawongan), dengan alam sekelilingnya (palemahan), dan dengan ketuhanan (parahyangan) yang saling terkait, seimbang, dan harmonis antara satu dan lainnya, agar manusia dapat mencapai kesejahteraan berkelanjutan. Keseimbangan dan keterkaitan berarti pengekangan, memikirkan dampak perbuatan terhadap orang lain. Ini bersifat konservasi terhadap manusia maupun alam.
Total tiga tahun waktu yang diperlukan Anak Agung guna melakukan penelitian dan penulisan disertasinya, walaupun sebenarnya sudah 30 tahun ia tidak bersentuhan langsung dengan dunia akademik dan lebih memilih menghabiskan waktunya di dunia usaha. Namun hasil yang dicapainya sangatlah luar biasa. Tepat pada tanggal 3 November 2005, Anak Agung Gde Agung sukses mempertahankan disertasinya. Upacara penyerahan gelar seusai pengujian di depan 10 mahaguru itu menjadi semakin istimewa karena Rektor Universitas Leiden kala itu, Prof. D.D. Breimer, membacakan surat dari Ratu Belanda, Beatrix, yang dibawa utusan kerajaan khusus untuk Anak Agung Gde Agung. Tidak hanya itu, Ratu Beatrix bahkan mengutus langsung Putra Mahkota Belanda, Prins Willem-Alexander untuk menyempatkan diri datang ke hotel tempat Anak Agung menginap seraya memberi ucapan selamat dan bersama-sama merayakannya dengan makan siang. Sebuah kehormatan luar biasa tentunya bagi Anak Agung, sekaligus juga kehormatan bagi nama baik Indonesia. [Ravando]
Referensi
Anak Agung Gde Agung, “Balinese Cosmology for a Universal Code of Behavior” dalam Jakarta Post, 5 Juli 2009.
———–, “Tri Hita Karana: A Primer on the Balinese Philosophy of Life and the Balance of Nature”, dalam Origin, April 2012, Nummer 3.
Knapen, Ben, “Bali in the Balance”, dalam Odewire, 21 Januari 2007.
Maria Hartiningsih & Ninuk Mardiana Pambudy, “Tri Hita Karana dan Anak Agung Gede Agung”, dalam http://www.indo-emirates.org/2007/02/10/tri-hita-karana-dan-anak-agung-gede-agung/, 10 Februari 2007.